Ciri-Ciri Skripsi Pakai ChatGPT dan Cara Menyikapinya Secara Bijak
Anda sudah tidak asing lagikan, dengan ChatGPT? Ya, alat ini benar-benar mampu menghasilkan teks dalam waktu yang singkat.
Tetapi, apa jadinya bila itu digunakan untuk naskah ilmiah?
Artikel ini akan menjelaskan kepada Anda, tentang bagaimana ciri-ciri Skripsi yang dibuat dengan menggunakan ChatGPT. Mari kita pelajari.
Perkembangan ChatGPT
Kita semua tahu, tentang alat yang satu ini. Perkembangannya benar-benar luar biasa.
Bahkan saat artikel ini diterbitkan, mereka sudah memiliki versi GPT-5, yang dikabarkan lebih canggih.
Ingat, ChatGPT pertama kali diluncurkan ke publik pada akhir 2022. Dalam waktu hanya lima hari, penggunanya tembus satu juta orang[1], sebuah rekor tercepat dalam sejarah teknologi digital.

Sejak itu, OpenAI terus memoles model ini: dari GPT-3.5 yang sudah terasa "pintar," ke GPT-4 yang jauh lebih terstruktur dan akurat, hingga kini GPT-5, yang dikabarkan memiliki kemampuan penalaran dan pemrosesan konteks yang semakin mendekati cara berpikir manusia.
Bagaimana Orang-Orang Menggunakan ChatGPT
Mari kita bongkar rahasianya, kaitan dengan topik ini.
Percaya atau tidak, banyak mahasiswa (yang bahkan Saya temui) mengakui bahwa mereka membangun karya ilmiah lewat ChatGPT!
Faktanya: 40% penggunaan ChatGPT, digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka (termasuk menghasilkan teks).

Ya... Bisa jadi, disinilah mereka. Banyak orang-orang yang menggunakan ChatGPT untuk membantu menyelesaikan pekerjaan mereka.
Dan lucunya, mereka tidak hanya berhenti pada membuat paragraf atau bab skripsi.
Saya sering mendengar cerita begini: ada yang pakai ChatGPT buat meringkas jurnal supaya cepat paham, ada yang minta dibikinkan kerangka skripsi, bahkan ada yang minta dibuatkan instrumen angket langsung siap pakai!
Kreatif? Iya.
Tapi kadang bikin saya garuk-garuk kepala juga.
Ciri-Ciri Skripsi Pakai ChatGPT
Nah, sekarang kita masuk ke persoalan inti. Topik ini mungkin agak sensitif, tapi penting dibicarakan.
Saya sendiri sudah beberapa kali membaca skripsi yang membuat saya mengernyitkan dahi: "Ini benar-benar tulisan mahasiswa saya?"
Ciri #1: Diksi yang Canggih dalam Naskah
Apakah Anda pernah merasa, sebuah naskah terlihat begitu sempurna, dengan diksi yang terkadang itu tidak lumrah digunakan? Itu kemungkinan benar, dihasilkan oleh ChatGPT.
Pasalnya, Anda harus tahu: Bahwa mengutip dari Universitas STEKOM mengungkapkan, ChatGPT memiliki miliyaran kalimat dari berbagai sumber yang terdata. Itulah alasannya, mengapa sering sekali teks yang dihasilkan memiliki Diksi yang mengesankan.
Pilihan kata cenderung sangat formal, rapi, dan konsisten sepanjang naskah.
Hampir tidak ada variasi gaya bahasa atau "tone shift" yang biasanya terlihat pada tulisan mahasiswa (misalnya campuran formal dan semi-formal di bab yang berbeda).
Ciri #2: Kutipan Halusinasi
Mahasiswa biasanya menggunakan referensi yang mereka miliki (buku fisik, jurnal kampus) dan menyebut halaman tertentu.
AI cenderung menyebut referensi yang tampak “ideal” tetapi tidak detail (tanpa nomor halaman, atau DOI yang tidak valid).
Bila Anda pernah melihatnya, kemungkinan besar itu dihasilkan lewat AI seperti ChatGPT.
Kutipannya terlihat akademis, tapi sering sulit diverifikasi.
Anda dapat melihatnya, apakah sumber-sumber yang dihasilkan oleh ChatGPT itu benar-benar nyata. Dalam beberapa percobaan, kebanyakan referensi yang dihasilkan itu hanyalah "HALUSINASI".
Ketika saya mengamati skripsi mahasiswa yang kutipannya "terlihat akademis" tapi sulit diverifikasi, data empiris mendukung kecurigaan tersebut. Sebuah penelitian di Scientific Reports (2023) menemukan bahwa dari 636 referensi dalam literature review yang dibuat ChatGPT-3.5, sekitar 55% referensi adalah fabricated, yaitu tidak ada dalam database manapun. Sedangkan ChatGPT-4 lebih baik, namun tetap sekitar 18% referensi belum valid.[2]
Selain itu, dalam studi medis di mana ChatGPT-3.5 diminta membuat artikel pendek, dari 115 referensi yang dihasilkan: 47% buatan, 46% autentik tapi detailnya salah, dan hanya 7% yang benar-benar tepat (pengarang, tahun, jurnal, volume, halaman).[3]

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kutipan yang tampak “rapi” belum tentu benar. Dan menariknya, pola yang sama juga muncul pada bagian argumentasi—yang sering kali terasa terlalu mulus untuk sebuah karya mahasiswa.
Ciri #3: Argumentasi Terlalu Mulus
Ini sebenarnya terlihat, tetapi tidak secara langsung kita merasakan.
Jadi begini. Naskah yang terkadang kita lihat memiliki argumen yang benar-benar mengalir, justru disanalah titik masalahnya.
Penjelasan konsep selalu runut, seolah tidak ada keraguan atau ambiguitas.
Tidak ada yang salah dengan ini. Bahkan, inilah yang sebenarnya diharapkan.
Tetapi, apakah itu dapat dihasilkan tanpa bimbingan dengan dosen pembimbing? Mari menalar dari hati.
Terkadang, yang sering Saya alami justru bertolak belakang dengan itu. Tulisan mahasiswa sering menunjukkan "jejak berpikir," misalnya ada kalimat penghubung yang canggung, pernyataan yang diulang, atau argumen yang belum tuntas.
Untuk menghasilkan sebuah argumen, mahasiswa biasanya melalui tahapan berpikir yang cukup kompleks.
Teori Kellogg (2006) misalnya: tentang writing as problem solving menjelaskan bahwa menulis bukan hanya menuangkan kata-kata, tetapi sebuah aktivitas kognitif yang melibatkan perencanaan, penerjemahan ide, dan revisi.

Dalam kerangka ini, penulis biasanya akan berpindah-pindah antara planning (merancang apa yang ingin disampaikan), translating (mengubah ide menjadi kalimat), dan reviewing (menilai kembali dan memperbaiki).
Proses ini cenderung menghasilkan “jejak” dalam teks, misalnya kalimat transisi yang terasa ragu, pengulangan ide karena penulis sedang menegaskan argumennya, atau perbaikan logika yang tampak pada bagian revisi.
Inilah yang membuat naskah mahasiswa terasa lebih “manusiawi.”
Kemudian dalam studi Singh (2019), mahasiswa bahkan menggunakan teknik think-aloud untuk mengajukan pertanyaan pada diri sendiri seperti “Mengapa saya memegang pendapat ini?” atau “Bukti apa yang paling tepat untuk mendukung klaim saya?” sebelum menulis.
Proses-proses ini menghasilkan jejak revisi, kebingungan sementara, dan bahkan perubahan posisi ketika data atau teori baru ditemukan.
Karena itu, argumentasi yang terlalu lancar dan nyaris tanpa celah sering kali mengindikasikan bahwa teks tersebut tidak melalui proses “pergumulan intelektual” yang biasanya dialami mahasiswa.
Tulisan manusia biasanya meninggalkan tanda-tanda proses ini, misalnya adanya pengulangan, konektor logika yang belum tepat, atau bagian yang direvisi setelah diskusi dengan dosen pembimbing.
Itulah mengapa ketika kita menemukan skripsi yang argumennya seakan langsung “matang,” kita patut mempertanyakan apakah penulisnya benar-benar melalui proses tersebut, ataukah hanya memanfaatkan alat seperti ChatGPT yang memang mampu menyusun teks yang sudah jadi dalam satu kali percobaan.
Ciri #4: Minim Kesalahan Teknis
Ciri selanjutnya adalah nyaris tidak adanya kesalahan teknis di dalam naskah. Ketika membaca skripsi yang "terlalu sempurna," kita bisa melihat bahwa hampir tidak ada typo, kesalahan ejaan, atau tanda baca yang salah. Bahkan format penulisan—mulai dari margin, spasi, hingga daftar pustaka, terlihat seragam dan rapi.
Padahal, kita tahu bagaimana kenyataannya.
Dalam praktik sehari-hari, meskipun mahasiswa sudah merevisi berkali-kali, biasanya tetap ada saja kesalahan kecil yang lolos: titik yang ganda, koma yang hilang, kata yang salah ketik, atau penulisan pustaka yang tidak konsisten.
Itu wajar, karena menulis skripsi adalah proses panjang dan melelahkan, sehingga kesalahan manusia sulit dihindari.
Nah, di sinilah kita perlu curiga ketika sebuah skripsi terlihat terlalu bersih.
ChatGPT dan alat serupa memang memiliki kemampuan grammar correction yang luar biasa. Mereka bisa secara otomatis memperbaiki ejaan, memperhalus kalimat, bahkan menyeragamkan format sehingga hasil akhirnya tampak profesional.
Saya pernah menemukan skripsi yang dari awal sampai akhir tidak ada satu pun typo, bahkan tanda baca pun sempurna.
Awalnya saya kagum, tetapi setelah ditelaah, saya sadar bahwa pola bahasanya terlalu konsisten dan terlalu "lurus."
Di situ saya menduga ada campur tangan AI, karena mahasiswa jarang menghasilkan naskah sebersih itu tanpa bantuan aplikasi proofreading tingkat lanjut.
Apakah Kita Harus Tertutup Dengan ChatGPT?
Pertanyaan selanjutnya, apakah kita akan menutup diri dari perkembangan ChatGPT?
Tentu saja tidak.
Bahkan baru-baru ini, ada riset yang berhasil lewat penggunaan ChatGPT. Lihat disini.

Saya sendiri cenderung ingin mengetahuinya lebih dalam, tentang bagaimana ia digunakan, bagaimana mereka mengambil data, dan apakah ada pengaturan-pengaturan khusus dibelakang layar, dan sebagainya.
ChatGPT hanyalah alat. Ia bisa menjadi asisten cerdas yang mempercepat proses berpikir dan menulis, tetapi juga bisa menjadi "penjiplak canggih" jika digunakan tanpa kesadaran.
Di sinilah peran kita sebagai pendidik, peneliti, maupun mahasiswa, untuk menjaga agar proses belajar tetap ada, bukan sekadar hasil akhirnya saja.
Dengan sikap kritis, kita tidak hanya menjadi konsumen pasif teknologi, tetapi pengguna yang cerdas dan bertanggung jawab.
Referensi
- Duarte, F. (2025, August 18). Number of ChatGPT users (July 2025). Exploding Topics. https://explodingtopics.com/blog/chatgpt-users
- Walters, W.H., Wilder, E.I. Fabrication and errors in the bibliographic citations generated by ChatGPT. Sci Rep 13, 14045 (2023). https://doi.org/10.1038/s41598-023-41032-5
- Bhattacharyya M, Miller VM, Bhattacharyya D, Miller LE. High Rates of Fabricated and Inaccurate References in ChatGPT-Generated Medical Content. Cureus. 2023 May 19;15(5):e39238. doi: 10.7759/cureus.39238. PMID: 37337480; PMCID: PMC10277170.
Komentar